Ombudsman Perwakilan Kalimantan Barat menemukan berbagai indikasi kecurangan dalam penerimaan pegawai negeri melalui jalur honorer kategori dua (K2). Temuan ini didapatkan setelah lembaga ini melakukan investigasi sejak beberapa bulan lalu. “Indikasi ini kami temukan di berbagai tempat Kalbar. Rata-rata di setiap kabupaten ada kasusnya,” ujar Kepala Ombudsman Perwakilan Kalbar Agus Priyadi saat memaparkan ekspos kinerja penanganan laporan selama bulan Januari-April 2014, Senin (19/5).
Honorer kategori dua adalah honorer yang pendapatannya bersumber dari non APBN dan APBD. Misalnya untuk instansi teknis seperti dinas pekerjaan umum, dananya berasal dari honorarium kegiatan. Sementara bagi guru, dananya dari dana bos atau komite sekolah. Ada sejumlah modus kecurangan penerimaan CPNS melalui jalur ini. Asisten Ombudsman Kalbar, Marini mengatakan, salah satu bentuk kecurangan yang dilakukan adalah dengan membuat surat keputusan (SK) palsu.
Sebagaimana diketahui, salah satu persyaratan untuk bisa lolos sebagai CPNS, perserta minimal harus mempunyai masa kerja sebagai tenaga honorer paling sedikit satu tahun per 31 Desember 2005. “Untuk memenuhi syarat ini, sejumlah peserta kemudian membuat SK fiktif. Dalam penelusuran kami, banyak peserta yang menggunakan SK fiktif ini,” ujarnya.
“Misalnya saja kami temukan dalam SK, NIP peserta tertulis 18 digit, padahal jika SK itu dikeluarkan sebelum 2005 mestinya hanya ada 9 digit. NIP dengan angka 18 digit itu kan baru ada pada 2009. Berarti ada indikasi manipulasi di sana,” jelas Marini. Ada juga SK yang tercatat dikeluarkan pada tahun 1985, namun sudah dicetak dalam bentuk print out computer. “Ini kami temukan di sebuah desa di Bengkayang. Padahal saat itu, di sana belum masuk listrik. Masak sudah pakai komputer untuk menulis SK,” ujar Marini.
Selain itu, ditemukan pula peserta yang menggunakan SK palsu. Seorang peserta yang berlatar belakang sebagai penambang emas liar dan tidak pernah menjadi tenaga honorer ternyata lolos sebagai CPNS. “Informasi ini kami dapatkan dari sejumlah orang yang melaporkan bahwa peserta tersebut tidak pernah bekerja sebagai honorer. Mereka heran mengapa orang tersebut lolos sebagai CPNS. Ada indikasi peserta tersebut memalsukan SK pengangkatan,” ungkap Marini.
Asisten Ombudsman Kalbar, Irma Syarifah, menambahkan, ada juga orang yang melakukan pemaksaan pada kepala sekolah agar mengeluarkan SK pengangkatan. Tujuannya agar orang tersebut bisa mendaftar CPNS. “Beruntung kepala sekolah itu menolak dengan tegas,” tambah Irma.
Selain SK, manipulasi lain ditemukan pada daftar hadir saat bekerja. Setelah diteliti, ada sejumlah pemalsuan daftar hadir. Hal ini diketahui dari kurang rapinya dalam pembuatan daftar hadir tersebut. Misalnya saja ada tandatangan daftar hadir pada tanggal 29 Februari, padahal di tahun itu bulan Februari hanya sampai tanggal 28. “Ini sudah mengindikasikan adanya niat untuk melakukan kecurangan. Mungkin daftar hadir baru dibuat saat hendak mendaftar,” kata Marina.
Menurut Irma, ada indikasi kecerobohan pemerintah kabupaten atau kota dalam penerimaan CPNS tenaga honorer ini. Banyak peserta yang semestinya tidak memenuhi syarat ternyata bisa lolos. Dari penelitian yang dilakukan, kerap ada perbedaan data base antara badan kepegawaian daerah dengan badan kepegawaian nasional. “Kami cek sejumlah nama yang di BKN semestinya memenuhi syarat menjadi CPNS ternyata di BKD tidak. Itu satu nama, tetapi berbeda datanya,” katanya.
Mestinya proses seleksi sudah harus dilakukan sejak tahap pemberkasan. Orang yang lolos harusnya adalah peserta yang benar-benar memenuhi persyaratan. “Mestinya mereka harus benar-benar mengeceknya, jangan asal terima saja,” lanjut Irma. Dari seluruh nama honorer K2 yang lolos, kata Irma, sebagian besar tidak memenuhi persyaratan. “Misalnya 100 orang yang lolos, paling hanya 10 orang yang secara administrasi itu memenuhi berbagai syarat,” ungkapnya.
Kepala Ombudsman Perwakilan Kalbar, Agus Priyadi mengatakan, laporan ini telah disampaikan ke Ombudsman Pusat untuk ditindaklanjuti ke instansi terkait. “Jika memang terbukti melakukan pelanggaran, semestinya harus dicoret. Pemerintah harus tegas. Ini demi perbaikan ke depan,” katanya. (her)