Kompetisi dan Daya Saing Birokrasi.
Perkembangan pelayanan publik di Tanah air memang masih belum dapat dikatakan berubah lebih baik dari tahun ke tahun. Hasil survei dari sejumlah lembaga survei internasional dan kalangan organisasi non-pemerintah yang diutarakan oleh Ombudsman pada bulan Desember tahun kemarin menunjukkan Indonesia hanya berada di urutan ke-121 dari 125 negara. Ada Lembaga lain pula yang menempatkan Indonesia di urutan ke-117 dari 120 negara. Ujung-ujungnya birokrasi pelayanan publik yang menjadi kambing hitam sebab mereka yang selama ini paling bertanggungjawab terhadap kegiatan utama memberikan layanan kepada masyarakat.
Geliat reformasi birokrasi kini pun masih terlihat stagnan jika kita mencoba menghubungkan antara birokrasi dengan kegiatan ekonomi, misalnya bagaimana ribetnya prosedur dan lama waktu pengurusan melalui birokrasi kita.
Melalui laporan Doing business 2014 birokrasi Indonesia tertinggal cukup jauh dibandingkan negara-negara tetangga lain lain. Indonesia sendiri menempati urutan 120 dari 189 negara yang disurvei, Filipina pada pertingkat 108, Vietnam 99, Malaysia 6 bahkan Singapura jauh mengungguli kita dengan menyabet peringkat 1. Jika dijabarkan lewat satu elemen pengukuran saja yaitu ease of doing business ditandai dengan kemudahan prosedur dan lama pengurusan sendiri maka birokrasi Republik ini memiliki 10 prosedur dan memakan waktu 48 hari. Coba bandingkan dengan Singapura yang hanya memiliki 3 prosedur dan memakan waktu cuma 2,5 hari saja.
Bayangkan hal tersebut, kemampuan birokrasi kita sangat jauh tertinggal dari Singapura. Bahkan ekstrimnya birokrasi kita tak akan mampu bersaing dengan Singapura yang sangat responsif pada dunia usaha, padahal tantangan ke depan sangat berat perdagangan bebas antarnegara ASEAN juga akan segera dimulai dan tetap saja birokrasi kita yang menjadi penghambat. Bisakah kita menghadapi Vietnam? Malaysia? Singapura? tentu saja tidak akan pernah bisa jika birokrasi kita tak berubah dan tak mempunyai keunggulan kompetitif.
Catatan buruk birokrasi ini menambah panjang gagalnya pemerintah dalam membangun Republik ini sebagai welfare state dengan birokrasi sebagai alat implementasi utama. Contoh pelayanan dasar menunjukkan implementasi secara masif asuransi kesehatan melalui penerapan jaminan kesehatan nasional (JKN) tentu masih belum banyak diharapkan mampu meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat akibat problem birokrasi yang kurang sosialisasi dan kurang responsif pada kepentingan masyarakat. Anggaran pendidikan yang sudah mencapai 20% dari APBN ternyata belum mampu meningkatkan kecerdasan anak-anak Indonesia, beberapa survei menunjukkan justru menunjukkan rendahnya angka partisipasi pendidikan hingga rendahnya minat baca, bahkan itupun masih belum digerogoti oleh dugaan korupsi dana pendidikan hingga ke daerah-daerah yang semakin memberatkan masyarakat.
Birokrasi yang korup, birokrasi yang berbelit-belit, serta birokrasi yang tidak responsif rupanya masih saja menjadi penyakit. Masalah besar adalah birokrasi sudah mengakar di masyarakat kita, semua hal hampir memerlukan birokrasi (dari lahir hingga mati). Jadi sudah jelas birokrasi memiliki peran dalam masyarakat, jika birokrasi buruk maka masyarakat pun akan menerima kerugiannya, kalau sudah begini masyarakat akan semakin tertinggal dengan kemajuan Bangsa lain, keuntungan masyarakat dihabisi oleh birokrasi.
Baru-baru ini Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birorkrasi (Kemenpan-RB) setidaknya mencoba untuk menyuntikkan semangat baru untuk mengatasi buruknya birokrasi, yaitu menyelenggarakan kompetisi inovasi pelayanan publik dan sekaligus mendorong beberapa lembaga pelayanan publik terbaik di Republik ini untuk mengikuti kompetisi internasional bertajuk UNPSA Award 2014. Sebagai masyarakat awam kita juga perlu sedikit untuk memberikan dukungan kepada pemerintah, kita pun yang akan diuntungkan jika birokrasi kita berkembang. Kemenpan-RB sendiri juga membuat kompetisi antar birokrasi di daerah maupun pusat yang kini sudah menghasilkan 99 inovasi dari 515 proposal inovasi dan pada proses selanjutnya akan dihasilkan 33 top inovasi yang dapat menjadi best practice bagi lembaga pelayanan publik lainnya. Anggota tim penilai kompetisi bukan merupakan orang sembarangan, jadi kompetisi ini bukan membeli kucing dalam karung.
Deretan nama mulai dari J.B. Kristiadi (Dosen FISIP UI), Dadan S. Suharmawijaya (Peneliti JPIP), Anggota Litbang Bambang Setiawan (Litbang Kompas), Sofyan Effendi (Guru Besar UGM) hingga Siti Zuhro (Guru Besar LIPI) menunjukan tim penilai merupakan seorang pakar yang sudah tidak diragukan lagi kapasitasnya. Di kompetisi lain dengan kelas internasional Pemerintah melalui kemenpan reformasi birokrasi telah berusaha memberikan dukungan langsung kepada seluruh lembaga baik di lingkungan Kementerian/Lembaga di tingkat pusat sampai unit-unit di tingkat daerah untuk berpartipasi dalam kompetensi internasional yang digagas oleh PBB yang dikenal dengan United Nation Public Service Award (UNPSA). Sampai sejauh ini terdapat Sembilan lembaga pelayanan publik indonesia yang masuk ke putaran kedua UNPSA 2014, yaitu LPSE Kementerian Pekerjaan Umum, UPIK Kota Yogyakarta, Dinas Dukcapil Kota Surakarta, LPSE Kabupaten Luwu Utara, Pelayanan Terpadu Kabupaten Barru, Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Singkil, P2T Provinsi Jawa Timur, Kantor Imigrasi Jakarta Selatan, serta Larasita Kantor Pertanahan Karanganyar. Setidaknya kita dapat berharap bahwa jika ada lembaga yang menjadi pemenang maka akan menjadi pemacu bagi lembaga lain untuk meningkatkan pelayanan publik.
Memang dari hasil kompetisi internasional birokrasi inovatif kita sementara ini hanya mampu masuk ke dalam putaran kedua (masih menunggu proses selanjutnya) dan belum pernah memenangkan award pada kategori apapun. Hal yang cukup memalukan karena kita banyak kalah bersaing dari negara-negara Afrika seperti Kenya, Nigeria, Botswana, bahkan Etiopia pun pernah memenangkan salah satu kategori pada 2013.
Di Negara berkembang lain pun seperti Pakistan pernah meraih award pada tahun lalu. Pada negara tetangga sendiri pun kita kembali bertekuk lutut, Thailand pernah mendapatkan award bersama Singapura dengan kategori yang berbeda.
Dampak Kompetisi: Perubahan
Partisipasi Indonesia dalam kompetisi kaliber internasional serta membuat kompetisi antardaerah sendiri ini harus dijadikan momen untuk mendorong perubahan sektor publik yang masih gundah gulana dengan banyaknya masalah, terutama ini penting bagi masyarakat agar ikut aktif mendorong institusi di daerahnya masing-masing jika dinilai inovatif serta perlu mengkirtik birokrasi di daerah yang masih lamban pelayanannya. Birokrasi harus memfasilitasi aspirasi mereka untuk mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas, bagi pemerintah baik pusat maupun daerah juga hal ini merupakan pressing bagi mereka agar mampu berbuat lebih baik dan keluar dari kebobrokan birokrasi untuk memberikan pelayanan lebih baik bagi masyarakat, tentu saja masuknya beberapa instansi dalam putaran ke dua di UNPSA serta hanya 99 proposal dari 515 proposal yang masuk ke Kemenpan-RB ini akan membuat malu lembaga lain yang tak mampu berbuat lebih baik. Alexander Sthyr (2007) lebih menyarankan akan daripada terus-terusan mengungkit keburukan birokrasi lebih baik birokrasi didorong untuk melakukan inovasi.
Kompetisi sendiri bermakna positif jika mampu meningkatkan kinerja masing-masing lembaga akan tetapi akan sangat riskan jika hanya mampu menciptakan fenomena gunung es yakni hanya sebagian kecil saja yang dapat dinilai secara positif dan banyak hal menjadi terabaikan.
Setidaknya ada macam perubahan yang diharapkan dari persaingan kompetisi ini, pertama, yaitu perubahan pelayanan publik menjadi lebih baik serta yang kedua adalah meningkatnya daya saing birokrasi kita baik dalam melayani masyarakat serta mendorong kegiatan ekonomi nasional.
Dengan event seperti ini sudah seharusnya ada kemauan dari birokrasi untuk menjadi yang lebih baik dari birokrasi lainnya yang pada akhirnya menciptakan kinerja yang lebih baik. Christopher Pollit dan Geert Bouchaert (2011) juga mendorong kompetisi antar lembaga dan bahkan antar individu agar menghasilkan kinerja yang lebih efektif dan efisien.
Kepercayaan Publik
Terpilihanya beberapa lembaga di atas tentu saja menunjukkan adanya upaya perubahan dari dalam birokrasi sendiri dan mungkin masyarakat perlu mengapresiasi jika memang benar-benar bermanfaat bagi mereka, jangan sampai birokrasi yang dinilai inovatif ternyata tak mampu memberikan manfaat bagi masyarakat. Masyarakatpun akan acuh pada birokrasi, tak ada pada perubahan baik dan tetap menilai birokrasi sebagai lembaga korup akibatnya jelas, masyarakat akan kecewa serta mengalami distrust berkepanjangan karena tidak ada timbal balik kepercayaan yang seharusnya ada simbiosis mutualisme antara birokrasi dan masyarakat dalam artian yang positif.
Agus Dwiyanto (2011) menyatakan bahwa pemerintah seharusnya memberikan trust kepada publik dengan menyediakan penyerdahanaan prosedur sehingga masyarakat juga merasa tidak ditekan dan disulitkan oleh prosedur yang berbelit-belit sekaligus mengembalikan trust publik kepada pemerintah.
M. Rizki Pratama
Alumnus Prodi Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Airlangga Surabaya